header website rev1

Written by H. Achmad Fausi. S.H.I. on . Hits: 682

Pesan Esoteris Idul Qurban

Oleh Achmad Fausi

 Ketua Pengadilan Agama Penajam, Kalimantan Timur

 CAPTURE KURBAN

Perayaan Idul Kurban menjadi alegori sarat makna bagi manusia. Selain sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, nilai kurban melukiskan bentuk pengorbanan harta benda yang disukai untuk orang lain. Ada tradisi saling menyantuni yang diamanatkan agama untuk terus dihidupkan dalam keseharian.

Ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Tuhan untuk mengorbankan anak semata wayangnya, Ismail, sebagai bentuk penghambaan yang tiada tara, sedikitpun tidak merasa keberatan. Padahal, Ibrahim telah sekian lama mendambakan keturunan yang saleh. Perintah Tuhan itu dilaksanakan Ibrahim dengan penuh tabah dan pasrah. Totalitas penghambaan inilah yang mengajarkan kita untuk berlomba mengasihi dan mengorbankan hal duniawi yang disukai untuk orang lain. Bahkan, jika diperas lagi, saripati Idul Kurban mengandung makna bagaimana Tuhan memberikan pelajaran kepada manusia untuk selalu menjaga nilai kemanusiaan.

Kajian esoteris tentang Idul Kurban memiliki relevansi dengan harmonisasi hubungan horizontal. Alasan Tuhan menggantikan leher Nabi Ismail dengan domba yang gemuk adalah untuk menjaga satu hal: kemanusiaan. Domba adalah simbol sifat kebinatangan pada diri manusia yang harus dibunuh. Sedangkan martabat kemanusiaan menjadi ihwal pokok dalam agama yang wajib dijunjung tinggi. Ambivalen jika agama yang agung justru mewarisi tradisi memenggal leher demi mengekspresikan nilai penghambaan dan keikhlasan kepada Tuhan.

Mengorbankan kemanusiaan

Saat ini bangsa kita sedang menghadapi ancaman permusuhan antarsesama. Orang yang berlainan paham keagamaan dianggap halal darahnya dan sah dibunuh. Pengorbanan dalam beragama macam ini sangat menyesatkan karena satu sisi beranggapan mengagungkan agama, namun sisi lain menegasikan nilai kemanusiaan. Padahal tujuan agama sangat jelas, yakni untuk memanusiakan manusia.

Pengorbanan umat beragama yang diekspresikan seperti tersebut di atas bukan lagi bagaimana merawat kebinekaan sebagai ketetapan adikodrati Tuhan. Tapi bagaimana memberangus “liyan” yang dianggap sebagai duri keyakinan melalui praktik-praktik intoleransi. Jika demikian kondisinya maka ancaman terburainya tenun kebangsaan yang susah payah dirajut pendiri bangsa akan menjadi segumpal kenyataan. Biduk negeri yang dibangun oleh spirit pluralitas suku, agama, ras, dan antargolongan terancam pecah.

Silakan simak betapa menjamurnya praktik intoleransi belakangan ini yang berakar dari truth claim yang berlebihan dan arogansi pemahaman takfiri. Problem intoleransi tersebut bakal menjadi ancaman nyata sepanjang konsep beragama dengan berbangsa terus-menerus diposisikan secara asimetris. Padahal, menjunjung tinggi nilai kebangsaan sama derajatnya dengan pengabdian terhadap agama. Tidak habis pikir bagaimana mungkin sesama anak bangsa yang berlainan paham keagamaan saling bermusuhan. Padahal katanya semua agama mengajarkan kedamaian. Begitu pula secara geografis bumi yang dipijak, udara yang dihirup dan air yang diminum adalah tanah air Indonesia milik bersama. Lantas mengapa masing-masing sering bertikai?

Selama ini orang tidak memahami akar filosofi perbedaan. Sehingga tidak memiliki kesiapan untuk hidup berbeda. Menganggap dirinya dan kelompoknya paling benar. Padahal yang dipanggil oleh Allah kelak di akhirat bukan atas dasar kelompok mana dia berafiliasi, aliran apa yang dia anut, melainkan inti terdalam sebagai manusia yakni ruh/jiwa (Alqur’an Surat Al-Fajr: 27-30).

Di dalam agama apapun sikap seperti itu pada akhirnya akan melahirkan fundamentalisme agama yang secara praktis mengeksklusifkan orang lain yang tak sepaham (Barr, 1994). Selama ajaran suci tidak dihayati sebagai konsep yang memberi pandu pada tingkah laku maka betapapun agungnya suatu ajaran, perilaku umat tidak akan mencerminkan ajaran agamanya.

Spirit kurban

Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa penyembelihan hewan kurban menarasikan proses pembunuhan sifat kebinatangan manusia. Berkurban bukan sekadar merelakan seekor kambing kesayangan untuk disembelih dan dibagikan kepada yang membutuhkan. Tetapi yang lebih penting mengorbankan hawa nafsu yang cenderung membelenggu manusia. Seperti nafsu amarah, permusuhan, dan mental buruk lainnya.

Banyak orang keliru memaknai bentuk pengorbanan dalam mengabdi kepada Tuhan. Demi agama dan Tuhan tak jarang orang lupa sifat kemanusiaannya. Beribu-ribu tahun lamanya agama ini dikaji dan diyakini oleh jagat manusia, namun praktik “memenggal leher” orang yang dianggap berbeda aliran atas dalih iman dan keyakinan masih saja terjadi. Begitupula dalam relasi sosial berbasis suku, agama dan komunitas peristiwa intoleran telah menjadi budaya paling ekstrem, meskipun banyak orang yang mengutuknya.

Praktik “memenggal leher manusia” tersebut melukiskan penyelewengan makna pengorbanan. Nafsu kebinatangan yang seharusnya mampu ditundukkan oleh kesucian jiwa, justru menjadikan sifat-sifat manusia yang berakal dan berbudi luhur sebagai tumbal. Padahal, siapa membunuh seorang manusia bukan karena qisas atau membuat kerusakan di muka bumi, seolah-olah telah membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya, memelihara kehidupan seorang manusia, berarti telah memelihara kehidupan semua manusia (Alqur’an Surat Almaidah: 32).

Akhirulkalam, marilah momentum Idul Kurban yang membawa pesan kemanusiaan diterjemahkan kembali dalam konteks kebangsaan dengan menjaga kesatuan dan persatuan. Perbedaan adalah sunnatullah. Barangsiapa merawat perbedaan berarti telah berkorban melawan egonya demi bangsa dan kehidupan. Tapi, barangsiapa menghancurkan perbedaan maka baginya segala kutukan dan kehinaan karena telah melawan kodrat Tuhan.

PENGALAMAN KEPENULISAN

  • Aktif menulis di berbagai media nasional maupun lokal, seperti Harian Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Majalah Gatra, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Koran Jakarta, Republika, Koran Kontan, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Suara Karya, Radar Surabaya, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pontianak Post, Bangka Post, Tribun Kaltim, Kaltim Post, Balikpapan Pos, Lampung Post, Jurnal Millah, Jurnal La Riba, Jurnal Al Mawarid, Mimbar Hukum, Varia Peradilan, Majalah Komisi Yudisial dan lain-lain.

                                            

BUKU KARYA

  • Buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2012)
  • Anasir Kejahatan Peradilan (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2013)
  • Korupsi dan Pengauatan Daulat Hukum (UII Press, Yogyakarta, 2015)

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Penajam
Jl. Provinsi KM. 9 Komplek Perkantoran Kec. Penajam, Kab. Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur - 76142
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Email Tabayun : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 6

7

7

7

Lokasi Kantor

Sosial Media

11

13

12

14