Gerakan Keluarga Antikorupsi
Oleh Achmad Fauzi
Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam
Penulis Buku Korupsi dan Penguatan Daulat Hukum
Negeri ini dirundung malapetaka. Penyakit korupsi tak henti kian mendera. Sejumlah kepala daerah berbondong-bondong dijebloskan ke penjara. Naluri serakah membuatnya gagap bersentuhan dengan godaan materi. Kewenangan maupun pengaruh yang dimiliki dijual dengan harga murah. Karir dan reputasi yang dirintis dalam waktu panjang ambruk dihantam magnet fulus.
Melihat makin banyaknya pejabat daerah yang ditangkap KPK, tampaknya telah terjadi pergeseran mentalitas di kalangan elite kita yang lebih memuja peradaban perut. Integritas tak lagi jadi keutamaan. Kewibawaan justru dinistakan untuk kepentingan perut. Lebih jauh lagi pangkal soal korupsi bukan sekadar defisit integritas. Tapi juga menyangkut gaya hidup yang hedonis.
Peran keluarga
Persoalan integritas dan gaya hidup hedonis tersebut akan teratasi jika peran keluarga kembali direvitalisasi. Keluarga adalah benteng utama dalam menghadang laju korupsi. Bahkan salah satu ajaran kebajikan mengatakan bila ingin memiliki pemimpin yang baik maka perbaiki kualitas masyarakatnya. Jika ingin memperbaiki tatanan masyarakat maka perbaiki lebih dahulu keluarganya.
Namun, nyatanya saat ini ketangguhan entitas keluarga sebagai benteng korupsi tengah menghadapi ancaman dengan munculnya fenomena sekeluarga jadi koruptor. Hal ini ditandai dengan tren baru pelaku tindak pidana korupsi yang tidak sekadar melibatkan mitra kerja di kalangan profesional. Keluarga juga turut serta telibat dalam pusaran korupsi dan nepotisme. Sebut saja Zulkarnaen Djabar dan anaknya Dendy Prasetya yang telah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus pengadaan Alquran dan laboratorium komputer.
Edward Banfeld dalam bukunya “The Moral Basic of a Backward Society” (1958) menyebut korupsi dan nepotisme sebagai ekspresi sikap partikularisme. Yakni, suatu perasaan kewajiban membagi sumber-sumber ekonomi kepada pribadi yang dekat pada seseorang dengan mengabaikan komitmen untuk bersikap sama kepada orang lain. Partikularisme pada titik tertentu bermuara pada amoral familism dan terbengkalainya nilai komunitarian.
Karakteristik amoral familism ditandai dengan terbangunnya kultur tali kekerabatan yang sangat kuat namun bekerja untuk pemufakatan jahat bernama korupsi. Hal ini sangat membahayakan karena cengkeraman korupsi sudah menjelma dalam kekuatan dinasti. Beberapa studi Bank Dunia bahkan menunjukkan bahwa negara-negara di Asia telah terjangkit amoral familism dimana korupsi terjadi karena keterikatan dalam keluarga. Berbeda dengan negara-negara Skandinavia yang kurang mementingkan partikularisme sehingga skala korupsinya rendah (Tilaar, 2004).
Kita enggan belajar kepada negara-negara yang kurang mementingkan partikularisme sehingga bagus dalam pemberantasan korupsinya. Tiongkok, misalnya, karena ketegasannya terhadap koruptor membuat banyak pejabat dihukum mati, dicabut hak-hak politiknya dan seluruh kekayaannya disita. Bahkan pemimpinnya telah menyediakan peti mati untuk dirinya jika terbukti korupsi. Di Indonesia alih-alih mau menyediakan peti mati untuk pejabat korup, lembaga antirasuah yang militan memberantas korupsi malahan hendak dikebiri kewenangannya. Diserang dari tujuh penjuru mata angin. Dihujani celaan tak berdasar. Operasi tangkap tangan yang jadi strategi paling jitu pemberantasan korupsi dianggap cari pamor.
Revitalisasi peran keluarga sangat penting agar pejabat kita tidak terjangkit virus pemufakatan jahat korupsi. Keluarga saling mengingatkan untuk tidak terlibat praktik memainkan proyek, manipulasi perizinan, dan berkolusi dalam proyek penggunaan anggaran negara. Semua anggota keluarga berperan menjadi auditor dan menghitung kewajaran kekayaan yang dimiliki.
Entitas keluarga adalah awal diajarkannya perilaku mulia dan rasa malu serta komit pada tanggungjawabnya. Masing-masing keluarga dapat melakukan detoksifikasi racun korupsi dalam lingkup kecil terlebih dahulu sebelum menjadi kesadaran sosial yang masif. Detoksifikasi berarti keberdayaan entitas keluarga untuk membunuh sifat-sifat rakus, tidak jujur, pamrih, dorongan memperkaya diri, serta matinya rasa malu.
Koentjaraningrat (1997) mengatakan bahwa persoalan utama menjamurnya korupsi di Indonesia dua di antaranya dipengaruhi oleh mental suka menerabas (cutting-corner attitude ) dan mengabaikan tanggungjawab. Karenanya, dibutuhkan kepatuhan moral dalam keluarga sebagai strategi pencegahan. Sebagai peralihan ke masyarakat keluarga dapat membangun mental antikorupsi dengan menanamkan komitmen untuk menolak perolehan harta secara tidak wajar.