Ancaman “Cumulonimbus” Hukum
Oleh Achmad Fauzi
Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam; penulis buku Korupsi dan Penguatan Daulat Hukum
Sejak insiden jatuhnya Pesawat AirAsia QZ8501, awan “cumulonimbus” ramai dibincangkan. Awan vertikal bermuatan listrik ini sangat ditakuti dunia penerbangan karena memiliki karakteristik ekstrem. Unsur awannya padat, bercuaca dingin dan mampu menciptakan petir dan badai. Burung besi yang nekad menerabas bisa mengalami turbulensi hebat atau bahkan jatuh tersungkur.
“Cumulonimbus” Hukum
Di dunia hukum tak dikenal istilah awan cumulonimbus. Tapi, sengaja dipopulerkan karena dalam belantika hukum juga acap mengalami turbulensi. Yakni, sebuah guncangan hebat akibat badai suap dan mempermainkan neraca keadilan. Daya rusak praktik kotor ini menyerupai cara kerja awan cumulonimbus yang mampu mengacaukan ritme penerbangan.
Jemari tangan rasanya tak cukup menghitung jumlah penegak hukum yang perbuatannya menjatuhkan marwah hukum ke titik rendah. Keadaban hukum yang idealnya dijunjung tinggi dirobohkan hingga menjadi puing. Persoalan klasik yang tidak pernah tamat adalah masih bercokolnya jejaring korupsi.
Ibarat anatomi tubuh manusia, sekujur tubuh Republik ini sedang lunglai digerogoti penyakit korupsi. Kaki sebagai simbol kekuatan rakyat mengalami mati langkah dan kehilangan daya topang karena fakta praktik korupsi di kalangan elite sudah sedemikian kronis. Tragisnya, berdasarkan kualifikasi umur, regenerasi koruptor mulai banyak menjangkit kaum muda. Idealisme kaum muda yang pernah diikrarkan pada tahun 1928 kini tergerus oleh kepentingan pragmatis.
Begitu pula tangan yang dilambangkan kekuasaan dan perpanjangan lidah rakyat juga sedang dipertanyakan kekuatan idealismenya. Korupsi, misalnya, terkesan dianggap sebagai kejahatan biasa sehingga produk legislasi yang menjadi instrumen hukum pemberatasan korupsi dirancang dengan cara yang biasa pula. Pada saat bersamaan KPK dipandang sebagai benalu politik yang harus disingkirkan, dilemahkan, dan dimandulkan kewenangannya karena banyak memakan korban kelompok elite sendiri.
Mestinya DPR menyadari secara sungguh-sungguh dampak dari fungsi legislasi yang tidak mendukung pemberantasan korupsi. Tatkala rakyat sudah tidak percaya dan wakilnya kehilangan legitimasi maka yang terjadi adalah saling khianat. Dalam konteks ini penting dikemukakan pemikiran Knitter (1995) tentang teori akumulasi kesadaran bersama. Ketika fakta bahwa masyarakat yang menjadi korban politisasi telah menjadi kesadaran bersama, maka akan memantik semangat mempersatukan tekad untuk melakukan perlawanan kepada sistem yang menyengsarakan. Hal inilah yang perlu diwaspadai oleh wakil rakyat agar marwah kedudukan yang diamanatkan rakyat tetap berada pada jalan yang benar.
Supremasi hukum kita semakin terancam saat beberapa tahun lalu sempat kisruh atas bergulirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional. Wajib pajak yang mengemplang pajak diwacanakan mendapatkan pengampunan sanksi administrasi negara dan sanksi pidana di bidang perpajakan, asalkan pelaku mengembalikan pajak yang belum terbayar sejumlah kerugian negara. Hal ini jelas menguntungkan koruptor atau pelaku pencucian uang yang menyelewengkan pajak. Mereka akan melenggang bebas dari segala tuntutan hukuman badan. Efek jera yang menjadi jargon peradilan tindak pidana korupsi akhirnya tidak seangker dulu lagi.
Sebagai satu kesatuan tubuh, negara mestinya tidak hanya fokus pada pemulihan sektor ekonomi di satu sisi, namun menghempaskan kewibawaan hukum di sisi lain. Padahal, jika sadar dan taat konstitusi, negara ini berdasarkan atas hukum yang berdaulat, bukan kekuasaan. Artinya, kejahatan yang merugikan negara tidak boleh meniadakan proses hukum yang berlaku dalam sistem peradilan karena akan menimbulkan cumulonimbus hukum. Perlu disepakati oleh pemangku kepentingan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang pemberantasannya harus dengan cara luar biasa (extraordinary measure) dengan mendesain instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument).
Pemuda dan Korupsi
Di saat negeri ini menghadapi cumulonimbus hukum, pemuda adalah penentu masa depan bangsa dan di tangan pemuda nasib bangsa ini dipertaruhkan. Jika pemuda justru larut dalam pusaran korupsi sungguh petaka yang amat memilukan bagi negeri ini. Pandangan umum selama ini mengatakan koruptor selalu identik dengan laki-laki berusia paruh baya. Namun tesis itu mulai dimentahkan oleh fakta sederet tokoh muda-mudi yang memiliki mandat kuasa tapi justru terseret kasus korupsi. Mereka rata-rata berusia di bawah 35 tahun. Fenomena ini cukup tragis sebab di usia produktif membangun bangsa mereka justru menderita tuna-idealisme. Kalimat getir pun bermunculan: jika dahulu pemuda bersumpah untuk sebuah cita-cita besar masa depan bangsa, maka kini pemuda justru disumpahi oleh sejarah karena berkhianat kepada bangsa.
Masa depan pemberantasan korupsi juga terletak di tangan pemudi. Pemudi adalah entitas yang perlu diberdayakan karena posisinya sebagai tiang negara. Dikatakan dalam salah satu hadis, jika kaum pemudi baik maka baik pula kehidupan dalam negara. Sebaliknya jika kaum pemudi rusak maka hancur pula kehidupan negara. Artinya, peran pemudi dalam bernegara sangat strategis. Kaum pemudi menjadi lokomotif dalam keluarga untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran dan perilaku antikorupsi sejak dini. Sehingga keluarga mejadi benteng ketahanan moral dan penyelamat masyarakat.
Betapa jamak pejabat korupsi secara berjamaah bersama istri dan anaknya. Mereka kompak melakukan pencucian uang dengan cara menyimpan dana hasil korupsi ke rekening-rekening keluarga dekatnya, atau untuk membeli sekuritas, properti, polis asuransi atas nama anak dan istrinya. Sehingga muncul adagium “dibalik koruptor yang hebat ada istri yang lebih hebat mendukungnya”.
Fenomena maraknya “keluarga koruptor” tersebut mengajak kita untuk merevitalisasi kembali peran pemuda-pemudi sebagai penentu keberhasilan pemberantasan korupsi. Sehingga Indonesia bisa keluar dari jerat korupsi dan cumulonimbus hukum.