header website rev1

Written by H. Achmad Fausi. S.H.I. on . Hits: 1949

Mengelola Produktivitas Zakat

Oleh Achmad Fauzi

Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam

58871e46 ilustrasi zakat.lg

Tradisi antre para penerima zakat (mustahik) yang menyerupai audisi warga miskin merekam jerit kesusahan yang tak boleh diremehkan. Kelompok renta maupun masyarakat miskin yang masih kuat bekerja berjubel dalam kerumunan berebut zakat konsumtif dari pemberi zakat (muzaki). Pengelolaan zakat berbasis konsumtivisme semacam itu perlu dikaji ulang karena tak lebih memberi makan sehari, namun menelantarkannya sepanjang tahun. Perlu dipikirkan agar warga miskin di Indonesia lebih berdaya dan segera entas dari golongan peminta.

Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 melonjak menjadi 26,42 juta orang, atau naik menjadi 9,78 persen dibandingkan dengan September 2019 yang tercatat sebesar 24,79 juta orang. Angka tersebut bakal bertambah seiring adanya Covid-19. Ini menjadi tanggungjawab negara agar ke depan zakat bisa dikelola dan dijadikan instrumen kebijakan fiskal dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Apalagi dimensi solidaritas dalam ibadah zakat tidak dibatasi oleh sekat agama. Orientasi pendistribusian zakat menganut azas pemerataan untuk seluruh lapisan masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan.  

Selama ini pengelolaan dana zakat secara nasional sepenuhnya ditangani oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Sejak berlakunya UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, Baznas memiliki kewenangan penuh mengelola zakat. Relevansi misi zakat dengan program pengentasan kemiskinan mengalami problem ketika prinsip tata kelola dana keuangan umat yang dianut Baznas berbasis produktivitas semu. Mengkampanyekan produktivitas pengelolaan zakat melalui penyediaan modal dan kegiatan usaha, tapi alpa memetakan demografi, keahlian, prospek dan strategi daya saing. Jangkauan pengembangan dana zakat semestinya berjangka panjang dan meliputi peningkatan sumber daya umat.

Pengalaman membuktikan penyediaan modal usaha warga miskin tanpa dibekali pemberdayaan dan keterampilan, daya survive, mental bersaing dan kepiawaian membaca peluang akan melahirkan kebangkrutan. Para pemburu zakat semakin mengular tiap tahun. Itu sebabnya sistem pengelolaan zakat harus melibatkan entrepreneurs, ekonom handal berhati jujur dan otoritas negara sebagai obligatory system yang mampu mendesain dan mengubah paradigma produktivitas zakat dalam arti sebenarnya. Memberi kail daripada umpan memang penting supaya masyarakat tidak mengalami ketergantungan pada zakat. Tapi yang utama kematangan menggunakan “kail” sehingga potensi zakat sebagai pranata keagamaan yang bertujuan meningkatkan keadilan dan kesejahteraan umat dapat tercapai dan berhasil guna.

Ricuh pengelolaan

Di samping problem di atas, sejak UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat diundangkan muncul kericuhan kewenangan pengelolaan antara Baznas dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kericuhan itu meliputi mekanisme pengelolaan, perencanaan, pelaksanaan, pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan dana zakat. Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Baznas merupakan lembaga yang berwenang melaksanakan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Sedangkan pasal 15 menyatakan untuk melaksanakan pengelolaan zakat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota maka dibentuk Baznas Provinsi dan Baznas kabupaten/kota.

Sentralisasi kewenangan pengelolaan zakat secara struktural akan menimbulkan obesitas kepengurusan, pembengkakan dana operasional dan rawan penyelewengan manakala perangkat pengawasan serta standar manajemen organisasi pengelola zakat belum efektif. Sentralisasi juga secara tak langsung telah menegasikan peran LAZ yang notabene dibentuk oleh masyarakat. Pengambilalihan kewenangan oleh Baznas menjadikan komponen masyarakat sipil kehilangan kapasitas yang dalam jangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaannya dalam mengelola zakat. LAZ sebagai jangkar zakat tak lagi memiliki legitimasi kuat untuk menjembatani problem pengelolaan zakat manakala publik meragukan kinerja Baznas, sehingga mustahik lebih memilih membayar zakat secara langsung kepada yang membutuhkan. Pengerdilan peran LAZ sejatinya bersifat ahistoris karena sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan pengelolaan zakat dilakukan secara konvensional oleh masyarakat. Pengamalan zakat masyarakat muslim di Indonesia pada mulanya dilakukan secara tradisional, yaitu dengan menyalurkan zakat secara langsung kepada mustahik atau melalui kyai, ajengan, masjid atau pesantren hingga lembaga non-formal yang dikelola secara modern.

Pemberdayaan LAZ untuk turut serta mengelola zakat secara psikologis-sosial sangat penting. Pertama, masyarakat memiliki kedekatan emosional dan desentralisasi pengelolaan zakat oleh LAZ mengkompromikan konteks serta kompleksitas kesulitan ekonomi dan permasalahan yang timbul di berbagai daerah. Sebaliknya tren publik tak dimungkiri sedang mengalami pengalaman traumatik terhadap birokrasi pemerintahan yang pada setiap sendi, termasuk urusan agama, dikorupsi tanpa rasa malu. Kasus korupsi pengadaan Al Qur’an baru-baru ini menjadi amsal argumentasi itu. Karena itu, LAZ sebagai jangkar zakat pada situasi sekarang masih sangat dibutuhkan untuk memelihara kesadaran masyarakat membayar zakat melalui lembaga. 

Kedua, besar-kecilnya perolehan zakat sangat ditentukan oleh kesadaran masyarakat Muslim dalam menunaikan perintah zakat. Kesadaran itu tidak muncul tiba-tiba. LAZ tak dimungkiri berperan serta melakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada umat Islam tentang pentingnya zakat sebagai penyucian harta dan jiwa. Banyak masyarakat yang buta jenis harta apa saja yang dikenai zakat, orientasi zakat, tatacara pengelolaan dan distribusinya. Masih banyak potensi zakat belum termobilisasi atau teroptimalkan, kinerja pengelola zakat belum sepenuhnya amanah dan profesional. Begitu pula fungsi regulasi, koordinasi, sinergi dan pengawasan serta standar manajemen organisasi pengelola zakat belum efektif. Sehingga peran serta LAZ sangat strategis dalam mendongkrak elektabilitas masyarakat terhadap badan amil zakat.

Penulis nyaris yakin, jika subordinasi terhadap LAZ dihilangkan dan iklim persaingan tak sehat antara Baznas dengan LAZ ditanggalkan, masyarakat pemburu zakat dari tahun ke tahun akan menyusut. Karena itu bermitralah untuk tujuan yang sama!

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Penajam
Jl. Provinsi KM. 9 Komplek Perkantoran Kec. Penajam, Kab. Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur - 76142
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Email Tabayun : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 6

7

7

7

Lokasi Kantor

Sosial Media

11

13

12

14