Penegakan Hukum Pidana Terorisme
Oleh Achmad Fauzi
Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam, Kalimantan Timur
Artikel ini dimuat di Koran Suara Pembaruan tanggal 14 Januari 2016
Nalar kekerasan berbentuk bom kembali merobek rasa kemanusiaan kita. Di kawasan keramaian, tepatnya di Jalan MH Thamrin, Jakarta serangan mematikan berupa peledakan bom yang disertai baku tembak antara teroris dengan polisi terjadi begitu menegangkan. Beberapa aparat kepolisian, warga sipil, dan pelaku teror tewas dalam peristiwa memilukan itu.
Mengamati pola dan sasaran serangan bom itu tampaknya polisi tengah menjadi target operasi. Sebab, selama ini prestasi kepolisian cukup gemilang memporakporandakan jaringan terorisme di Indonesia. Di samping itu, gerakan ini kemungkinan bentuk sikap latah kepada peristiwa peledakan bom yang terjadi di beberapa negara, sehingga kelompok-kelompok kecil ini ingin menunjukkan keberadaannya kepada khalayak.
Terlepas dari berbagai kemungkinan itu yang jelas tindakan teror telah melecehkan aparat pemerintah karena tugas menjaga ketertiban dipecundangi aksi koboi kelompok teroris. Masyarakat juga mengalami efek psikologis berupa trauma dan rasa takut karena kejadian tersebut mendapatkan publikasi yang luas dan menjadi perhatian dunia.
Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Membaca ketentuan tersebut berarti ancaman pidana terhadap pelaku teror sangat berat karena maksimal pidana mati. Meski demikian semuanya berpulang kepada keseriusan dan ketajaman nurani penegak hukum dalam menjerat pelaku melalui tuntutan dan vonis yang sesuai dengan kadar kesalahannya. Yang jelas kasus ini sangat meresahkan masyarakat, sehingga penegakan hukum dan sistem peradilan tindak pidana terorisme harus berjalan transparan, adil dan menjangkau seluruh aktor yang terlibat di dalamnya. Tidak cukup hanya menjerat pemain pinggiran yang dalam barisan kelompok teroris berkedudukan sebagai panji prajurit. Pengungkapan kasus kejahatan luar biasa ini harus meliputi siapa yang menjadi otak atau perancang serangan dan siapa pula yang mendanainya.
Pengungkapan tindak pidana pendanaan terorisme selama ini memang berjalan kurang optimal. Padahal masalah pendanaan seperti pelumas yang erat kaitannya dengan kelancaran aksi teror. Beberapa upaya perlu terus ditingkatkan seperti mengenali secara detail profil pengguna jasa keuangan (PJK), pengawasan secara ketat kepatuhan PJK dan pengawasan kegiatan pengiriman uang melalui sistem transfer melalui sistem lainnya. Termasuk mengawasi sungguh-sungguh pembawaan uang tunai atau instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia.
Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan kepada kepolisian untuk mengusut tuntas peristiwa memilukan tersebut. Kutukan dan kecaman juga datang mengalir dari berbagai tokoh lintas agama, pemerintah, dan masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai keindonesiaan. Tindakan itu dikutuk karena tidak ada ruang yang layak bagi masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal ramah, religius dan toleran. Dalam kitab suci manapun tidak ada legitimasi yang membenarkan tindakan biadab itu.
Bom bunuh diri yang melanggar etika kemanusiaan sejatinya merupakan eksternalisasi dari sikap jahat dan egoisme. Kebencian mengeliminasi cinta kasih terhadap sesama manusia sehingga melihat orang lain yang berbeda keyakinan atau misi hidup sebagai musuh. Kebencian yang berakumulasi tersebut menjadikan Indonesia sebagai tempat yang gersang bagi berlangsungnya kepelbagaian dalam ikatan kebinekaan. Kebencian membuat orang yang berlainan ideologi halal darahnya sehingga sah untuk diperangi. Kebencian membuat relasi antar-manusia dipenuhi kecurigaan atau prasangka. Akibatnya, proses menyulam Indonesia menjadi peradaban yang unggul terkoyak dari rajutannya.
Kekerasan berbentuk teror yang terjadi dengan segala variabelnya tersebut harus diurai sumbu utamanya. D.H. Camara (1971) dalam analisanya mengenai spiral kekerasan menyatakan bahwa salah satu ekspresi kekerasan adalah untuk perjuangan menegakkan ideologi. Istilah ini lebih dikenal oleh kelompok keagamaan garis keras dengan sebutan jihad. Meski pemaknaan jihad tersebut sangat keliru namun tak dimungkiri telah menjadi bagian dari sikap hidup para kelompok militan yang kerap mengatasnamakan agama sebagai pembenarannya.
Revitalisasi Tri Gatra
Oleh karena itu, selain mengawal proses penegakan hukumnya, pemerintah perlu merevitalisasi keterhubungan linear antara tiga pilar penting dalam memberantas terorisme, yakni polisi, tokoh agama dan masyarakat. Kesungguhan polri dalam mengungkap jaringan terorisme, misalnya, tidak boleh digembosi oleh isu pelanggaran HAM. Sebab isu ini justru menjadi tameng bagi pekaku teror untuk berlindung diri. Yakinlah bahwa polisi tidak akan sembarangan dalam menjalankan tugasnya karena terikat standar operasional prosedur.
Terorisme adalah persoalan serius dunia yang membahayakan. Wajar saja jika polisi kerap menembak pelaku teror karena ketika penggerebekan terdesak dan membahayakan keselamatan masyarakat sekitar. Johan Galtung (1988) mengatakan bahwa kepentingan kelompok tertentu (baca: teroris) adakalanya boleh dikorbankan demi menghindarkan bahaya yang lebih besar. Artinya, kekerasan fungsional terhadap teroris pada batas-batas tertentu dianggap perlu demi memutus urat nadi terorisme yang membahayakan. Karena itulah masyarakat diharapkan melihat secara proporsional kinerja Polri untuk tidak sekadar memikirkan hak-hak pelaku teror dan keluarganya. Penderitaan para keluarga korban bom yang kehilangan suami, anak, istri, sumber nafkah dan semangat hidup juga harus diperhitungkan.
Masyarakat sebagai bagian dari pilar pemberantasan terorisme juga harus ditingkatkan perannya. Sistem kemanan keliling yang pernah berlaku di era Orde Baru perlu dikembangkan dengan memperketat pengawasan warga dari tingkat bawah. Jika ada warga yang mencurigakan gerak-geriknya segera laporkan kepada pihak berwajib.
Sisi lain dari gejala terorisme erat kaitannya dengan pendangkalan agama. Anak muda baru belajar agama namun sudah menggebu-gebu untuk berjihad dengan cara keliru. Seolah agama itu identik dengan perang. Sehingga paradigma jihad dalam agama selalu final di genangan darah kekerasan. Pemaknaan yang simplistis ini jika tidak diluruskan akan melahirkan kekerasan dalam agama. Di sinilah tugas tokoh agama untuk memberikan pemahaman yang benar tentang pesan profetis agama.
Tugas pokok tokoh agama adalah mewartakan kepada pemeluknya agar pemahaman jihad dalam agama tidak dibajak oleh arogansi kelompok teroris. Pesantren sebagai basis pendidikan agama menjadi mercusuar lahirnya manusia inklusif dan berwawasan multikultural. Sehingga nantinya mampu meletakkan konsep jihad dalam konteks kebangsaan secara benar. Bahwa musuh bersama yang harus diberantas bukanlah orang yang berlainan keyakinan agama, ras maupun golongan, melainkan kemiskinan, kebodohan dan penyakit korupsi.
PENGALAMAN KEPENULISAN
- Penulis aktif menulis di berbagai media nasional maupun lokal, seperti Harian Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Majalah Gatra, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Koran Jakarta, Republika, Koran Kontan, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Suara Karya, Radar Surabaya, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pontianak Post, Bangka Post, Tribun Kaltim, Kaltim Post, Balikpapan Pos, Lampung Post, Jurnal Millah, Jurnal La Riba, Jurnal Al Mawarid, Mimbar Hukum, Varia Peradilan, Majalah Komisi Yudisial dan lain-lain.
BUKU KARYA PENULIS
- Buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2012)
- Anasir Kejahatan Peradilan (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2013)
- Korupsi dan Pengauatan Daulat Hukum (UII Press, Yogyakarta, 2015)