Bersidang di Tengah Hadangan Pandemi
Peresensi Achmad Fausi
Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam, Kalimantan Timur
Resensi ini dimuat di Majalah Mahkamah Agung edisi XXIV/2020
Judul Buku : Transformasi Digital Persidangan di Era New Normal
Melayani Pencari Keadilan di Masa Pandemi Covid-19
Penulis : H. Muhammad Syarifuddin
Penerbit : PT. Imaji Cipta Karya
Cetakan I : Agustus 2020
Tebal : 299 halaman
ISBN :978-623-90916-3-7
Virus Corona terus menebar ancaman. Pasien terinveksi jatuh berguguran. Sedikitnya 340 aparat peradilan terpapar dan 9 orang meninggal dunia. Meski demikian kerja penegakan hukum harus tetap bergerak pada porosnya. Seperti bunyi pameo, fiat justitia ruat caelum: hendaknya hukum tetap ditegakkan meski langit akan runtuh.
Lantas bagaimana sikap lembaga peradilan menyikapi pandemi ini? Buku yang ditulis Ketua Mahkamah Agung (MA), Yang Mulia Muhammad Syarifuddin, ini memberikan kesaksian selama pandemi fungsi peradilan diupayakan berjalan optimal meski sektor layanan publik dilanda kecemasan. Dewi keadilan tetap menyangga mahkotanya dengan cara mengatur ulang manajemen perkara dan persidangan di era new normal (hal.81).
Khusus untuk perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara, diarahkan menggunakan persidangan elektronik (e-litigasi). Persidangan perkara pidana, militer, dan jinayat tetap dilaksanakan khusus terhadap perkara yang terdakwanya sedang ditahan dan penahanannya tidak dapat diperpanjang lagi selama masa pencegahan Covid-19 (hal. 265). Kebijakan ini sangat membantu mempersempit penularan Corona karena tidak terjadi kontak langsung secara fisik antara petugas pengadilan dengan pencari keadilan.
Sikap MA yang tetap menjalankan pelayanan dan aktivitas persidangan tersebut pada mulanya mendapat kritik keras dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Menurutnya, MA tak serius menjalankan protokol pencegahan penularan Corona. Sebagai bentuk sensitivitas kepada kemanusiaan dan merespons darurat bencana global, Elsam meminta MA menghentikan semua aktivitas pelayanan di pengadilan termasuk agenda persidangan.
Persoalan penegakan hukum di tengah pandemi memang dilematis. Menunda persidangan merupakan pilihan yang bijak karena kita bekerja di tengah pagebluk, sehingga harus ada hitung-hitungan risiko. Namun penundaan berkepanjangan bakal menimbulkan instabilitas peradilan.
Bagi pencari keadilan, proses peradilan yang berjalan lambat dan berbelit menimbulkan ketakpastian. Dory Reiling (2009) dalam “Technology for Justice: How Information Technology Can Support Judicial Reform” menyatakan salah satu keluhan utama masyarakat terhadap lembaga peradilan ialah lambatnya penanganan perkara (delay). Penanganan perkara yang berlarut-larut bisa menimbulkan kerugian dan bagian bentuk ketidakadilan yang harus dicegah. Adagium hukum menyatakan justice delayed is justice denied: menunda keadilan adalah bentuk lain dari ketidakadilan.
Maka itu, meski kerja penegakan hukum tak boleh stagnan, aparat peradilan dituntut berhati-hati dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan tetap mempedomani protokol penanganan Covid-19. Seluruh pengadilan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi peradilan tetap meningkatkan kewaspadaan dan langkah-langkah terukur demi menghindari wabah Corona. Ketentuan tersebut berpedoman pada Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja di Lingkungan Mahkamah Agung dan Peradilan di Bawahnya dalam Tatanan Normal baru (hal.281).
Sejauh ini MA memiliki mitigasi risiko yang baik dalam menghadapi berbagai peristiwa yang menghambat proses peradilan. Jauh sebelum Corona menerjang, kebijakan transformasi digital MA telah ditabuh. Sebagai implementasi cetak biru 2010-2035 pada tahun 2018 MA meluncurkan e-court (halaman 88). Aplikasi tersebut menyediakan produk layanan pendaftaran perkara, pembayaran panjar biaya, dan pemanggilan pihak secara elektronik melalui domisili elektronik yang tervalidasi (halaman 89).
Pada tahun 2019 MA menyempurnakan transformasi digital tak hanya pada proses pemanggilan, tapi juga mengubah pola persidangan yang semula konvensional menjadi persidangan secara elektronik (e-litigasi). Pengguna layanan yang semula hanya terbatas kepada pengguna terdaftar (advokat), kini diperluas aksesnya kepada pengguna lainnya/subjek hukum selain advokat (halaman 110).
Singkatnya, transformasi digital ini dirancang bukan untuk mengantisipasi pandemi. Tapi sebagai tuntutan zaman agar pelayanan administrasi perkara dan persidangan lebih efektif dan efisien. Hanya saja, melihat kekhawatiran munculnya klaster baru di pengadilan, tak cukup sekadar menerapkan e-litigasi. Maka itu, beberapa paket kebijakan MA yang mengatur tata kerja aparat peradilan selama pandemi menjadi pedoman yang harus ditaati bersama. Aturan tersebut diberlakukan dengan berpedoman pada protokol kesehatan dan penanganan Corona dan mengacu pada asas keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus popli suprema lex esto).