header website rev1

Written by H. Achmad Fausi. S.H.I. on . Hits: 7796

Hakim, Putusan, dan Tuah Buku

Oleh Achmad Fauzi

Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam, Kalimantan Timur

Artikel ini dimuat di Harian Jawa Pos tanggal 12 Juni 2016

Perbincangan seputar hakim dan mahkota putusannya sudah jamak didengar di ruang publik. Ketika putusan hakim dianggap mencederai keadilan masyarakat pasti menjadi topik pembicaraan oleh banyak kalangan. Namun, ada dimensi lain yang jarang diulas soal relasi hakim dengan buku. Aspek ini menarik dicuatkan karena suatu alasan. Buku dan hakim ibarat kemelekatan ruh dengan jasad. Jika buku telah ditahbiskan sebagai kebutuhan intelektual hakim, masyarakat akan menemukan kedalaman pertimbangan putusan yang di dalamnya terhampar nilai keadilan, kebijaksanaan, kepastian dan kemanfaatan bagi peradaban.  Hakim tanpa (membaca) buku menyebabkan putusannya gersang dari ratio decidendi.  

Istilah ratio decidendi  dalam dunia peradilan acap dimaknai sebagai alasan hakim dalam menjatuhkan putusan. Maksudnya, sebelum menjatuhkan putusan ada pertimbangan hakim yang mengandung argumentasi dan nalar ilmiah yang berpijak kepada sebuah fakta. Pudjosewojo (1976) mendefinisikan ratio decidendi  sebagai faktor esensial yang harus dipenuhi karena menjadi ruh dari putusan hakim. Berarti perumusan ratio decidendi itu penting sekali keberadaannya karena menentukan kualitas putusan hakim. Basuki Rekso Wibowo (2011) bahkan menyatakan hakim dalam merumuskan putusannya hendaknya jangan sekadar berkutat pada silogisme formal dan menafsir secara mekanis saja. Putusan hakim sebagai pekerjaan intelektual membutuhkan analisis dan penafsiran secara komprehensif, argumentatif dan dilengkapi penalaran hukum (legal reasoning) yang memadai sehingga tergambar tingkat kecermatan dan intelektualitasnya.

 Di negara-negara yang menganut sistem common law hakim terikat kepada putusan hakim yang terdahulu (precedent).  Sehingga  ratio decidendi yang terdapat dalam putusan sifatnya mengikat untuk kasus serupa yang terjadi di masa mendatang. Namun demikian, bukan berarti putusan hakim di negara yang menganut tradisi civil law system seperti Indonesia tidak memerlukan ratio decidendi. Di negara manapun putusan hakim idealnya mengandung argumentasi yang memadai dengan merujuk kepada prinsip hukum, moral, filsafat, politik dan sosial sehingga masyarakat memahami secara komprehensif alasan hakim dalam memutus perkara.

Urgensi ratio decidendi dalam putusan erat kaitannya dengan pemaknaan sosiologis asas  res judicata pro varitate habetur (setiap putusan hakim harus dianggap benar dan dihormati). Mustahil putusan hakim sekonyong-konyong dihormati begitu saja sebagai sebuah kebenaran jika di dalamnya tidak memiliki pertimbangan yang kokoh dan meyakinkan. Karena itu, supaya asas res judicata pro varitate habetur sepenuhnya memiliki legitimasi kuat di tengah masyarakat, pertimbangan hakim yang berorientasi kepada kemaslahatan masyarakat luas sebagai entitas dari suatu peradaban harus terus dipelihara di dalam laboratorium nalarnya. Bukankah salah satu fungsi dari hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan manusia? Sebagai pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability) upaya yang dilakukan untuk melindungi kepentingan manusia adalah hukum harus ditegakkan secara layak.

Dalam kasus pemerkosaan, misalnya, perlu memuat pertimbangan yang pengaruh hukumnya memiliki daya jangkau melindungi segenap kaum  perempuan secara keseluruhan yang notabene masih ditindas kultur patriarki. Jadi perlindungannya bukan sebatas kasus perkasus saja. Sensitivitas putusan hakim harus memiliki pantulan ke depan dan mampu mengobati dahaga keadilan kaum perempuan. Sehingga putusan yang demikian dalam tataran fenomenologis nantinya akan berperan ganda: menyelesaikan kasus dan mengubah peradaban.

Di era tahun 80-an almarhum Bismar Siregar seorang hakim yang dikenal berjiwa keadilan pernah menghukum seorang laki-laki yang tebar janji akan menikahi gadis. Ceritanya ada seorang laki-laki yang berpaling dari tanggungjawabnya setelah berhasil merenggut keperawanan pacarnya. Merasa keberatan sang gadis mengajukan tuntutan ke pengadilan. Meski ketika itu tidak ada hukum yang mengatur tentang perzinahan namun bagi Bismar hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya belum jelas atau tidak ada. Bismar tetap memvonis laki-laki tersebut dengan delik penipuan. Bismar menafsirkan vagina perempuan dengan unsur barang. Sehingga seorang pria yang ingkar janji menikahi pasangannya namun telah digauli dapat dianggap telah menipu “barang” milik orang lain (Pasal 378 KUHP). Meski ditentang oleh beberapa kalangan namun Bismar berhasil menjalankan tugasnya sebagai hakim dalam mengisi kekosongan undang-undang.  Dan yang lebih penting lagi, ia telah menorehkan sejarah perlindungan terhadap kaum perempuan dari penindasan seksualitas kaum lak-laki melalui mahkota putusannya.

Putusan hendaknya memenuhi dua unsur tujuan hukum, yakni etis (memberikan rasa keadilan kepada yang berhak) dan utilities (memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat luas). Jika putusan hakim telah memenuhi dua unsur tersebut maka dengan sendirinya asas res judicata pro varitate habetur di dalam masyarakat menjadi realitas yang niscaya. Masyarakat tidak lagi karena terpaksa meyakini putusan hakim sebagai sebuah kebenaran hukum yang wajib dihormati karena di dalamnya telah nyata terhampar nilai-nilai keadilan yang diidamkan.

Pemaknaan independensi

Saat ini ramai di media sosial gunjingan atas putusan hakim yang oleh sebagian masyarakat dianggap melukai rasa keadilan.  Dalam gunjingan itu mengemuka suatu pertanyaan sejauh mana hakim berlindung di balik jaminan independensinya dalam memutus perkara. Bagi masyarakat, menjadikan independensi sekonyong-konyong sebagai tameng di tengah putusan  yang tidak adil sungguh suatu sesat pikir dan kesewenang-wenangan. Karena itu, jaminan independensi harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan. Termasuk di dalamnya peningkatan integritas hakim dan transparansi yang dibangun di atas prinsip harmonisasi antara tanggungjawab hukum (legal responsibility) dan tanggungjawab kemasyarakatan (social responsibility). Pertanggungjawaban ini nantinya menjadi alasan bagi masyarakat untuk tetap mempercayai dan menghormati putusan hakim.

Agar putusan hakim memiliki kedalaman pertimbangan dan dihormati masyarakat, maka mengasah kepekaan intelektualitas dalam menafsir dan keterampilan menerapkan undang-undang perlu terus dilakukan dalam kerja yudisial. Alat asahnya tentu adalah buku yang notabene menjadi nutrisi intelektual bagi hakim. Kebutuhan hakim untuk membaca buku  sama dengan kebutuhan asupan makanan untuk daya tahan tubuh.

Pengembangan cakrawala melalui membaca buku menjadi keharusan profesi karena keilmuan hakim dituntut selalu linear dengan dinamika perubahan masyarakat. Buku mengasah nalar hakim untuk melakukan pembaruan hukum, menyimpangi aturan yang jumud (contra legem), dan melakukan judicial activism sehingga tercipta suatu keadilan. Buku memiliki tuah mengubah pola pikir hakim agar tak sekadar sebagai cerobong undang-undang (la bouche de la loi). Tapi senantiasa menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan  keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dianggap tahu semua hukum ( ius curia novit).  Ketidaktahuan akan hukum mencelakakan (ignorantia iuris nocet).

PENGALAMAN KEPENULISAN

  • Aktif menulis di berbagai media nasional maupun lokal, seperti Harian Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Majalah Gatra, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Koran Jakarta, Republika, Koran Kontan, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Suara Karya, Radar Surabaya, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pontianak Post, Bangka Post, Tribun Kaltim, Kaltim Post, Balikpapan Pos, Lampung Post, Jurnal Millah, Jurnal La Riba, Jurnal Al Mawarid, Mimbar Hukum, Varia Peradilan, Majalah Komisi Yudisial dan lain-lain.

                                           

 BUKU KARYA

  • Buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2012)
  • Anasir Kejahatan Peradilan (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2013)
  • Korupsi dan Pengauatan Daulat Hukum (UII Press, Yogyakarta, 2015)

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Penajam
Jl. Provinsi KM. 9 Komplek Perkantoran Kec. Penajam, Kab. Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur - 76142
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Email Tabayun : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 6

7

7

7

Lokasi Kantor

Sosial Media

11

13

12

14