Trias Politika dan Sihir Kekuasaan
Oleh Achmad Fauzi
Wakil Ketua PA Penajam
penulis buku Korupsi dan Penguatan Daulat Hukum
Artikel ini dimuat di Koran Suara Pembaruan
“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men” (Lord Acton, 1834-1902).
Ungkapan ini tercetus pada 1887 dari seorang ahli sejarah dan moral, John Emerich Edward Dalberg Acton, 1st Baron Acton. Melalui suratnya kepada Uskup Mandel Creighton ia memekikkan kalimat masyhur sebagai kritik atas pembusukan kekuasaan. Kepada jagat dunia ia mengingatkan betapa kekuasaan itu membuat lena dan menyilaukan. Kekuasaan lebih cenderung koruptif dan sangat dekat dengan kesewenang-wenangan.
Hampir dua abad lalu panah kalimat itu meluncur dari busurnya dan menohok jantung pesohor di negeri ini. Penting dihidupkan kembali di ruang kekinian sebagai lonceng pengingat bagi mereka yang oleh kekuasaan menjadi buta nurani, sesat nalar, hilang kepekaan, dan defisit rasa malu. Di tengah mata rantai pembusukan moral pejabat yang kian sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri tersebut, seruan moral semacam itu perlu terus didengungkan. Terutama dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang sesak dengan praktik korupsi.
Selama ini panggung kekuasaan menarasikan secara telanjang bagaimana persekongkolan korupsi antarcabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) berjalan sangat kompak. Konsep trias politika yang pertama kali dikembangkan oleh John Locke dan dianut di Indonesia perlahan runtuh digantikan trias koruptika.
Terkuaknya segi tiga korupsi antar-lembaga kekuasaan negara tersebut menjadi benalu demokrasi yang merongrong daya juang bangsa Indonesia untuk lebih maju. Di tengah kegairahan mencegah dan memberantas korupsi teladan buruk justru dipertontonkan oleh para pemegang kekuasaan.
Tidak bisa dibayangkan betapa ganasnya wabah korupsi mengepung berbagai sendi bernegara. Di lingkungan birokrasi pemerintahan daerah atau kementerian, misalnya, ICW mencatat pada semester pertama 2014 sebanyak 308 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 659 orang. Sementara pada semester kedua tahun 2014 terdapat 321 kasus korupsi dengan 669 orang tersangka melanda pejabat atau pegawai pemerintah daerah dan kementerian.
Seakan tidak mau kalah di lembaga legislatif gurita korupsi juga terbilang mengerikan. Berdasarkan data yang dihimpun Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri sejak 2005 hingga Agustus 2014 terdapat 3.169 anggota DPRD terlibat kasus korupsi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota. Sedangkan anggota DPR pusat yang terlibat kasus korupsi sejak 2007-2014 menurut data KPK sebanyak 74 orang.
Mahkamah Agung (MA) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif tidak pernah memberikan impunitas hukum terhadap hakim yang terlibat korupsi. Melalui forum Majelis Kehormatan Hakim sikap tegas ditunjukkan dengan memecat oknum pengadil yang terbukti terlibat mafia peradilan. Sepanjang tahun 2016, misalnya, MA menjatuhi hukuman kepada hakim, pejabat struktural, fungsional, serta staf dengan rincian 38 orang dijatuhi sanksi berat, 19 orang sanksi sedang, dan 57 orang sanksi ringan. Dari 114 sanksi yang dijatuhkan sebanyak 52 di antaranya adalah hakim.
Keterlibatan hakim dalam praktik korupsi tentu menjadi pukulan telak bagi berjalannya penegakan hukum. Hakim yang diharapkan menjadi benteng terakhir penjaga dewa keadilan justru turut terlibat dalam persekongkolan jahat penyalahgunaan kekuasaan. Bagaimana mungkin hakim bersikap imparsial jika palu keadilan yang digenggam di tangannya kalah kuat dengan kuasa uang. Bagaimana mungkin hakim bersikap adil jika masih menjunjung tinggi peradaban perut.
Meski penegakan hukum acap dilumuri perilaku koruptif, namun kita tidak boleh kecil hati karena masih ada secercah harapan yang bisa dibanggakan. Meskipun ada beberapa hakim yang tersandung suap, namun tak bisa disangkal bahwa MA telah banyak capaian dan prestasi gemilang yang ditoreh. Tunggakan perkara yang dahulu kerap jadi sorotan publik kini progresnya mencapai puncak keemasan. Aturan tentang penyelesaian perkara tingkat kasasi dan PK diberlakukan dengan mematok batas penyelesaian maksimal tiga bulan setelah perkara diterima ketua majelis. Hal ini termaktub dalam Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jangka Waktu Penyelesaian Perkara.
Selain itu MA juga membatasi hakim agung melakukan kunjungan ke luar negeri dan melarang hakim agung mengajar di perguruan tinggi pada jam kerja. Kebijakan tersebut bertujuan agar produktivitas penangaan perkara lebih maksimal. Alhasil pada tahun 2016 produktivitas MA mampu mengikis tumpukan perkara cukup signifikan. Jumlah perkara yang berhasil diputus MA selama tahun 2016 sebanyak 16.223 dengan asumsi sisa perkara tahu 2015 sebanyak 3.950 dan perkara diterima tahun 2016 sejumlah 14.630. Dengan demikian sisa tunggakan perkara di MA sejumlah 2.357.
MA juga terus berjuang melawan ketertutupan dengan memaksimalkan piranti teknologi informasi. Ikhtiar tersebut merupakan langkah besar karena dalam budaya ketertutupan menyimpan banyak kebohongan dan berkorelasi dengan praktek dagang perkara. Dalam ketertutupan, meminjam istilah Jeremy Bentham, membuat hakim diadili saat mengadili. Maka dari itu, MA membuat aktivasi yang muaranya untuk meningkatkan pelayanan publik dan memperketat pengawasan. Pencari keadilan dapat memantau langsung perkembangan perkaranya. Pimpinan MA juga bisa mengawasi tingkat kepatuhan aparatur peradilan dan tempo penanganan perkara. Inilah kebanggaan dan harapan kita yang perlu terus dipupuk di tengah gelapnya kepungan mafioso.
Reposisi Trias Politika
Kembali lagi ke persoalan persekongkolan jahat tiga cabang kekuasaan negara, semuanya sejatinya berakar dari persoalan penerapan konsep trias politika yang masih setengah hati. Padahal, ide awal pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menghindari pola kekuasaan terpusat yang cenderung otoriter, koruptif, dan dominatif. Pembagian kekuasaan berfungsi sebagai sarana check and balance agar masing-masing kekuasaan bertindak tidak melampaui batas kekuasaannya.
Namun, dalam praktiknya, pembagian ketiga kekuasaan tersebut masih terjadi saling intervensi. Sebagai contoh, hingga kini kekuasaan yudikatif masih “tersandera” oleh eksekutif di bidang finansial. Tata kelola keuangan Mahkamah Agung belum otonom dan masih bergantung kepada pemerintah. Padahal kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan tidak ada campur tangan pihak manapun dalam menjalankan kekuasaannya, termasuk dalam hal perencanaan anggaran.
Perkuat KPK
Memulihkan kesadaran para pemangku negara dari sihir kekuasaan selain mereposisi trias politika pada khitahnya, juga dapat dilakukan dengan memperkuat KPK. Sepak terjang lembaga antirasuah ini terbukti berhasil menumpas korupsi di tiga cabang kekuasaan negara: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Operasi tangkap tangan beberapa pejabat adalah buktinya.
Tahun 2018 adalah tantangan bagi KPK untuk membuyarkan persekongkolan trias koruptika. Para pencoleng uang negara itu harus ditumpas. Komposisi personel KPK yang kuat menjadi energi di tahun baru ini. Singkirkan segala bentuk kepentingan selain demi mengeyahkan praktik korupsi dari bumi pertiwi. Berbagai perlawanan politik yang berupaya mengkerdilkan eksistensi KPK harus dilawan bersama dengan melakukan petisi, mengawal revisi RUU KPK, dan menekan perwakilan rakyat di DPR agar tidak (lagi) bersiasat politik membungkam nyali punggawa KPK dalam karsa pemberantasan korupsi. Hanya dengan demikian trias politika tetap berdiri kokoh dan para penyelenggara negara tidak terpedaya sihir kekuasaan.