Mengawal RUU Jabatan Hakim
Oleh Achmad Fauzi
Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam
Artikel ini dimuat di dertik.com tanggal 12 Februari 2016
Hakim memiliki kedudukan sentral dalam sistem peradilan. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman status hakim adalah pejabat negara yang melakukan fungsi kekuasaan kehakiman. Status sebagai pejabat negara makin dikukuhkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Namun hingga saat ini belum ada undang-undang yang mengatur spesifik tentang jabatan hakim. Sehingga, pola pengangkatan hakim, jenjang karir, hak keuangan dan fasilitas yang melekat masih menggunakan standar pegawai negeri sipil (PNS). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012, misalnya, ditetapkan hakim memperoleh tunjangan jabatan, namun gaji pokoknya masih merujuk pada standar PNS.
Karena itu, kerja legislasi DPR yang sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim menjadi angin surga bagi kalangan hakim dan masyarakat luas. RUU Jabatan Hakim sangat urgen diprioritaskan untuk memperkuat kedudukan hakim dengan segala turunannya. Kerangka dasar RUU Jabatan Hakim hendaknya berpedoman kepada nomenklatur hakim sebagai pejabat negara. Harmonisasi berbagai aturan tentang hakim yang masih kontradiktif juga penting dilakukan di Badan Legislasi (Baleg) DPR agar tak terjadi tumpang tindih. Atribut kepegawaian, penetapan jenjang kepangkatan, penggajian, protokoler, serta fasilitas lainnya harus menyesuaikan dengan UU Jabatan Hakim.
Pengangkatan
Saat ini krisis hakim masih mengancam. Sebab sempat terjadi penghentian penerimaan hakim sejak tahun 2011 hingga tahun 2017. Ketika itu, sejak putusan Mahkamah Konstitusi menetapkan Mahkamah Agung sebagai otoritas tunggal lembaga yang merekrut hakim tingkat pertama namun MA dan Kemenpan-RB masih terus berupaya mendesain mekanisme supaya rencana penerimaan hakim segera terlaksana.
Persoalan utamanya dalam paket UU Peradilan yang dikeluarkan tahun 2009 telah meniadakan syarat pengangkatan hakim harus PNS. Aturan ini berimplikasi pada banyak hal khususnya status kepegawaian dan mekanisme penggajian. Selama ini perekrutan calon hakim karirnya dimulai dari status calon pegawai negeri sipil/calon hakim. Sehingga selama menjalani pendidikan calon hakim masih bisa menerima gaji dari negara. Ketika calon hakim dinyatakan lulus pendidikan maka akan diberhentikan dengan hormat sebagai PNS untuk diangkat sebagai hakim.
Berbeda jika calon hakim langsung ditetapkan sebagai pejabat negara maka hal ini berdampak kepada banyak hal, termasuk di antaranya negara akan mengalami kerugian apabila ada calon hakim yang tidak lulus pendidikan. Di samping itu, terjadi problem apakah calon hakim yang tidak lulus tersebut secara otomatis bisa dijadikan sebagai PNS di lingkungan MA. Jika demikian pilihannya maka MA dan Kemenpan-RB perlu terus koordinasi agar perekrutan hakim tidak terganjal.
Pembinaan
Persoalan lain yang perlu diatur dalam RUU Jabatan Hakim adalah masalah pembinaan hakim. Pembinaan meliputi penempatan, peningkatan kapasitas, penilaian kinerja, mutasi, dan promosi. Penempatan hakim di samping memperhatikan kebutuhan lembaga juga harus bermuara pada kesejahteraan hakim. Sejak awal KY telah memberikan masukan agar pola mutasi mempertimbangkan aspek keluarga. KY menyatakan sejumlah hakim yang menjadi pesakitan di Majelis Kehormatan Hakim (MKH) salah faktornya karena berselingkuh.
Pengawasan hakim juga penting diatur. Sebab, selama ini standar pengawasan telah memasuki ranah teknis yudisial. Sedangkan upaya peventif dan proaktif untuk mencegah pelanggaran etik masih minim. Hakim memutus perkara tidak sesuai opini publik diperiksa. Seolah-olah peradilan opini jauh lebih tinggi kedudukannya daripada putusan hakim.
Dalam tatanan hukum otoritas non-yudisial tidak bisa mengintervensi apalagi merevisi putusan pengadilan. Ketidakpuasan terhadap putusan hakim hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum banding, kasasi atau PK. Dalam dunia hukum dikenal asas res judicata pro varitate habetur yang maknanya setiap putusan hakim harus dianggap benar dan dihormati. Bentuk penghormatan terhadap putusan hakim adalah menerimanya atau jika tidak puas tempuh upaya hukum. Bukan mencelanya hingga putusan hakim jadi bulan-bulanan publik.
Tapi kini norma universal ini mulai jarang ditaati. Putusan hakim kerap dibawa ke meja perdebatan publik yang tidak jelas ujungnya. Akhirnya putusan hakim jadi bahan olok-olokan yang muaranya jabatan hakim juga jadi bahan olok-olokan. Padahal kerja profesional hakim tidak bisa dilakukan sembarang orang. Hakim adalah manusia pilihan yang bekerja bersama nurani dalam kesunyian dan putusannya akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Berijtihad benar dapat dua pahala, keliru pun dapat satu pahala.
Kalaupun masyarakat getir atas fakta adanya hakim yang melanggar etik dan melakukan perbuatan pidana seperti menerima suap maka hal itu jangan digeneralisir. Sebab, masih banyak hakim yang punya nurani, bangun tengah malam meminta petunjuk kepada Tuhan agar dalam memutus tidak keliru, dan menyadari di sebelah kanan dan kirinya ada malaikat yang mengawasi. Sosok seperti mereka ini tidak banyak diekspos media sehingga yang muncul ke permukaan hanyalah hakim nakal. Sehingga seolah dikesankan mental semua hakim sudah bobrok.
Problem selanjutnya yang perlu diakomodir adalah perlindungan hakim yang sangat minim di samping pengaturan sanksi tegas perbuatan penghinaan pengadilan. Penjelasan umum butir 4 UU Nomor 14/1985 yang telah diubah dengan UU Nomor 3/2009 Tentang Mahkamah Agung telah mengamanatkan bahwa untuk lebih menjamin terciptanya suasana yang baik bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan.
Hak keuangan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) sejatinya sudah mengatur banyak hal terkait hak keuangan hakim. Beberapa di antaranya mencakup gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun dan tunjangan lain.
Namun ada amanat pasal yang hingga sekarang belum sepenuhnya bisa ditunaikan. Salah satunya soal jaminan keamanan. Korps cakra acap dirundung duka. Nyawa hakim tak punya harga. Meski dijuluki wakil Tuhan, namun potret buram pengadil dibunuh tau diancam bukan berita asing di telinga kita. Tindakan mengancam, membunuh, menyerang, mengintervensi hakim pada satu sisi merongrong kewibawaan hakim dan independensi peradilan sebagai kekuasaan yang merdeka. Proses penegakan hukum dan ketenangan hakim dalam bekerja terganggu. Putusan yang seharusnya lahir dari proses pergulatan nalar yang sehat dan nurani hakim yang jernih justru dibayang-bayangi oleh tekanan dan aksi premanisme. Karena itu, perlu diatur secara tegas di dalam RUU Jabatan Hakim.
Akhirul kalam, RUU Jabatan Hakim adalah hajat semua lapisan masyarakat yang harus dikawal dinamika pembahasannya. Hal ini bertujuan agar hakim semakin memiliki kedudukan yang kuat dalam menjalankan tugas-tugas peradilan dengan tetap berpegang teguh pada nilai etik dan menjunjung tinggi keluhuran martabat hakim.