Kredo 'Fiat Justitia et Pereat Mundus'
Oleh Achmad Fauzi
Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam, Kalimantan Timur
Redaktur Majalah Peradilan Agama
Barangkali Raja Hungaria dan Bohemia, Ferdinand I (1503–1564), tak nyana dunia bakal diterjang virus Korona. Adagium hukum yang ia cetuskan, fiat justitia et pereat mundus, benar-benar menegasikan pengecualian kondisi penegakan hukum. Andai kredo itu dicetus saat dunia menghadapi pandemi virus Korona, para ahli hukum mungkin ramai-ramai menggugat: Di manakah ruh hukum bersemayam untuk mengabdi kepada kemanusiaan?
Fiat justitia et pereat mundus menurut Wikipedia berarti hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus binasa. Pekik kredo tersebut jelas-jelas tak mengecualikan semua kondisi selain keadaan dunia telah binasa. Tak peduli dunia sedang diguncang badai, pandemi, perang, dan situasi buruk lainnya, pantang hukum meletakkan mahkotanya.
Maksim hukum lainnya yang memiliki kemiripan kondisi ialah fiat justitia ruat caelum. Kredo tersebut diucapkan pertama kali oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Menurut Wikipedia, fiat justitia ruat caelum berarti hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Ungkapan ini juga menegaskan bahwa dalam kondisi segawat apapun hukum harus tetap berdiri tegak tak tergoyahkan.
Ada kemiripan konseptual antara kredo fiat justitia et pereat mundus dengan fiat justitia ruat caelum dalam mendefinisikan prakondisi penegakan hukum. ‘Binasa’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rusak sama sekali; hancur lebur; musnah. Sedangkan ‘runtuh’ artinya roboh karena rusak; jatuh ke bawah; hancur sama sekali. Kedua maksim hukum tersebut menggunakan metafora “langit runtuh” dan “dunia binasa” untuk sama-sama melukiskan bahwa hukum tak boleh berhenti bekerja dalam situasi apapun.
Jika melacak kata “langit runtuh” maupun “dunia binasa” dalam Kitab Suci Al-Qur’an, sejatinya metafora tersebut merujuk kepada kondisi-kondisi yang menjadi ciri umum kiamat besar. Berdasarkan al-Qur’an Surat al-Qoriah ayat 1 sampai 5, misalnya, kiamat dilukiskan manusia seperti laron yang beterbangan dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Guncangan dahsyat tersebut membuat dunia binasa. Hal serupa dilukiskan bahwa pada saat kiamat tiba langit digulung seperti lembaran kertas (Surat al-Anbiya ayat 104), matahari digulung, bintang berjatuhan, planet bertubrukan (at-Takwir ayat 1-2). Hal ini menandakan bahwa langit seisinya akan runtuh dan tanpa cahaya.
Jika demikian gambarannya maka metafora “langit runtuh” maupun “dunia binasa” yang melekat pada dua maksim hukum tersebut mengandaikan penegakan hukum berakhir jika dunia juga berakhir. Hukum baru berhenti bekerja dan Dewi Themis sebagai ikon keadilan menyudahi tugasnya ketika kiamat sudah datang menerjang.
Lantas bagaimana kerja supremasi hukum ketika berada pada situasi gempuran pandemi Korona yang mematikan banyak orang? Bukankah langit masih terbentang utuh dengan planet-planetnya dan bukankah bumi masih jauh dari kehancuran? Pertanyaan ini menarik ditelaah saat awal wabah ini menyerang Indonesia, Mahkamah Agung masih menjalankan persidangan menegakkan hukum meski situasi pandemik makin tak menentu. Ribuan orang terpapar Covid-19 dan ratusan lainnya meninggal dunia.
Kebijakan MA yang tetap menjalankan persidangan dan pelayanan publik tersebut dikritik Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Menurutnya, MA tak serius menjalankan protokol pencegahan penularan Korona. Di tengah kondisi korban berguguran yang makin bertambah dari waktu ke waktu, MA dituding tak punya sensitivitas kepada kemanusiaan dan merespons darurat bencana global.
Menyikapi kian meluasnya penyebaran Korona, Ketua MA mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid 2019) di Lingkungan Mahkamah Agung dan Peradilan di Bawahnya.
Dalam edaran tersebut salah satunya mengatur bahwa hakim dan aparat peradilan dapat bekerja dari rumah. Pencari keadilan juga dibatasi sementara menggunakan instrumen e-court dalam pendaftaran perkara dan menggunakan e-litigasi untuk persidangannya. Hal ini bertujuan menghindari kontak langsung dan kerumunan massa dalam jumlah banyak yang mempercepat penularan Korona. Untuk persidangan perkara pidana, pidana militer, dan jinayat terhadap terdakwa yang secara hukum penahanannya masih beralasan diperpanjang ditunda sampai berakhirnya masa pencegahan penyebaran Covid-19.
Lantas ketika persidangan telah dibatasi apakah dua maksim hukum di atas sudah kehilangan konteksnya karena dianggap melampaui batas kemanusiaan? Kredo di atas secara eksplisit terkesan tegas dan nirtoleransi pada keadaan darurat. Sehingga meniscayakan seburuk apapun kondisi dunia sepanjang kiamat belum tiba hukum harus tetap tegak. Namun, tak tepat pula menelan mentah-mentah kredo itu tanpa mendialogkan teks dengan konteks. Bukankah hukum diciptakan agar berlaku secara manusiawi.
Karena itu, penafsiran paling elegan dalam memaknai kredo fiat justitia et pereat mundus di tengah pagebluk bukan dalam pengertian denotatif. Pemaknaannya dikonotasikan dengan kondisi chaos, penuh tekanan, dalam bahaya, atau sedang dalam kepungan virus penyakit. Atau fiat justitia et pereat mundus yang nirtoleransi diganti saja dengan kredo lain yang lebih kontekstual, yakni fiat justitia ne pereat mundus yang artinya hukum harus ditegakkan agar dunia tidak binasa. Lebih logis dan manusiawi, bukan?
PENGALAMAN KEPENULISAN
- Aktif menulis di berbagai media nasional maupun lokal, seperti Harian Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Majalah Gatra, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Koran Jakarta, Republika, Koran Kontan, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Suara Karya, Radar Surabaya, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pontianak Post, Bangka Post, Tribun Kaltim, Kaltim Post, Balikpapan Pos, Lampung Post, Jurnal Millah, Jurnal La Riba, Jurnal Al Mawarid, Mimbar Hukum, Varia Peradilan, Majalah Komisi Yudisial dan lain-lain.
BUKU KARYA
- Buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2012)
- Anasir Kejahatan Peradilan (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2013)
- Korupsi dan Pengauatan Daulat Hukum (UII Press, Yogyakarta, 2015)