Republik Mobokrasi
Oleh Achmad Fauzi
Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam, Kalimantan Timur
dan Redaktur Majalah Peradilan Agama
Artikel ini dimuat di Koran Jakarta tanggal 5 Mei 2017
Dialektika demokrasi dan hukum akhir-akhir ini memasuki fase kritis. Meskipun kodrat asli hubungan keduanya tidak dalam posisi ambivalen, namun gejala mobokrasi membuat pertalian demokrasi dan hukum seolah berjarak. Apa gerangan mobokrasi itu?
Istilah mobokrasi belakangan ini makin populer dalam kamus percakapan. Hal ini merujuk kepada berbagai peristiwa mobilisasi massa yang muaranya menjadikan hukum sebagai pedang pembunuh demokrasi. Menurut kamus Bahasa Indonesia, secara genuine mobokrasi memiliki arti pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak mengerti seluk-beluk pemerintahan.
Namun, dalam perkembangan kebahasaan, khususnya di dunia hukum, mobokrasi ialah suatu keadaan di mana hukum dikendalikan oleh gerakan massa. Defisini yang terkahir ini dalam praktiknya cukup membahayakan kehidupan bernegara karena konstitusi yang menjamin penegakan hukum bersifat independen acap mendapatkan intimidasi. Gedung pengadilan dihancurkan, hakim diancam, mobilisasi massa yang menekan aparat peradilan, putusan tak dipatuhi, dan lembaga peradilan diolok-olok.
Satu hal yang menjadi karakteristik mobokrasi ialah meskipun supremasi hukum sudah menjadi tugas utama aparat penegak hukum, namun mobokrasi acap mengambil alih dan mendelegitimasi supremasi hukum. Sekelompok orang berbicara lantang mengatasnamakan hukum, namun tak memiliki kesabaran yang cukup membiarkan hukum bekerja sesuai prosedur. Pada saat bersamaan aparat ditekan dan dipaksa melalui sebuah gerakan massa dengan dalih ada pelanggaran hukum, padahal di dalamnya memiliki tujuan tertentu. Fenomena semacam ini jika dibiarkan akan menggiring negara menjadi republik mobokrasi. Pemerintahan dikendalikan oleh sekolompok orang yang tak mengerti cara mengurus pemerintahan. Supremasi hukum disetir oleh kerumunan yang tak paham alur kerja penegakan hukum.
Fase antitesis
Dialektika demokrasi dan hukum, meminjam trilogi Hegel, setidaknya mengandung tiga fase, yakni tesis, antitesis, dan sintesis. Hal yang paling menakutkan dari hubungan keduanya ialah fase antitesis. Sebuah fase ketika demokrasi dan hukum berada dalam posisi yang antagonis.
Sejatinya sejak era reformasi bergulir, demokrasi dan hukum mulai bersintesa dalam satu bejana kenegaraan tanpa harus bertumbukan. Pilkada sebagai bagian dari demokrasi, misalnya, berjalan sehat dan dinamis. Jika ada pelanggaran dalam pilkada maka ada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang diberi wewenang mengadili sengketa di dalamnya. Kondisi demikian jauh berbeda jika dibandingkan dengan zaman Orde Baru. Di zaman Orde Baru, karena kekuasaan sering mempolitisir proses dengan berbagai kecurangan, proses pemilihan selalu menjadi objek perhatian. Sehingga hasilnya yang penuh dengan cacat hukum tidak bisa dikontrol melalui mekanisme hukum yang tepat seperti saat ini.
Bukti lain bahwa hukum bersintesa dengan demokrasi ialah dapat ditilik pada kerja pemerintahan yang diselenggarakan berdasarkan nilai-nilai demokrasi dan pada saat bersamaan hukum dijadikan sebagai panglima. Pemilihan pejabat pada lembaga hukum seperti hakim MK, misalnya, dilakukan secara demokratis, terbuka, dan melibatkan banyak pihak. Namun, hak veto presiden dalam memilih hakim MK perwakilan dari pemerintah tersebut tidak lantas menjadikan hakim MK tunduk kepada perintah ataupun kehendak presiden. Dalam mengambil sebuah keputusan, hakim MK tetap independen dan presiden menghormatinya sebagai wujud negara hukum. Itulah gambaran bagaimana hubungan demokrasi dan hukum bisa berjalan segendang seirama.
Namun, romantisme sintesis antara demokrasi dan hukum tersebut tidak selalu abadi karena ada saja yang berusaha merusaknya. Peradaban demokrasi yang dibangun di atas fondasi hukum acap dijungkirbalikkan dan berusaha ditarik mundur ke dalam fase antitesis. Pedang hukum, sekali lagi, sering digunakan sebagai alat politik. Meski semua proses hukum dari seorang terdakwa sepenuhnya ditentukan oleh putusan hakim, namun tak dimungkiri permainan politik macam itu begitu menguras energi banyak pihak. Bahkan, di tahun politik ini tak menutup kemungkinan bisa melahirkan pertikaian yang begitu runcing di antara kubu-kubu politik yang ada, yang dalam jangka panjang bisa merusak sendi keadaban bangsa Indonesia sebagai negara yang menjunjung nilai demokrasi dan hukum.
Maka dari itu, masyarakat madani yang memiliki rasionalitas dan netral dari kepentingan politik pragmatis, harus menjaga bangunan dialektika hukum dan demokrasi agar tidak berada dalam genggaman mobokrasi. Mobokrasi dalam hukum adalah gerakan menyesatkan karena bergerak dalam skenario pragmatisme politik. Sebaliknya, hukum itu suci dan bertengger di atas dewi keadilan mengayomi semua orang. Karena itu, dalam konteks demokrasi haram hukumnya pedang hukum digunakan untuk menghunus lawan politik dengan cara menjegal dan mencari-cari kesalahan yang bisa dijerat hukum. Kekalahan dalam berdemokrasi tidak lantas menjadikan hukum dengan segala cara dibengkokkan, sistem peradilannya disesatkan ((Surowidjojo, 2015).
Profesional
Menghadapi mobilitas mobokrasi yang kian intensif di beberapa daerah, seluruh aparat penegak hukum diharapkan bekerja profesional dalam menjaga marwah hukum. Lembaga kepolisian dalam kerja penyelidikan dan penyidikan tetap berpegang teguh pada aturan. Segala bentuk tekanan massa, intervensi politik, dan tarik-menarik kepentingan, harus disikapi dengan bekerja profesional dan transparan. Sehingga kualitasnya dapat diukur dan dipantau langsung oleh masyarakat. Lembaga kepolisian tidak boleh terseret ke dalam hiruk pikuk percaturan politik yang panas. Sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat polisi harus memiliki paradigma keadilan dan kesetaraan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan suku, agama, jabatan, maupun kasta sosial.
Begitupula jaksa dalam menghadapi mobokrasi tidak boleh “masuk angin”. Kehendak dan suara massa tidak selalu mengandung kebenaran. Karena itu, meski kerja penegakan hukum di lingkungan kejaksaan berbasis komando, sedapat mungkin tetap menjaga idealisme dan menghindari diri dari berbagai godaan sesaat. Kerja penuntutan menurut hukum harus didasarkan pada asas praduga bersalah. Artinya, jaksa penuntut umum harus terlebih dahulu yakin bahwa terdakwa telah melakukan suatu perbuatan pidana sehingga layak dituntut secara hukum. Bagaimana mungkin jaksa meyakinkan hakim jika ia sendiri tak memiliki keyakinan dan alasan hukum yang cukup untuk merumuskan suatu tuntutan.
Hakim sebagai garda terakhir penjaga benteng keadilan juga jangan sampai terseret polarisasi isu berbasis agama, ras, politik, dan sebagainya. Hakim harus independen dan tidak terpengaruh opini publik. Pasal 24 ayat (1) UUD l945 mengamanatkan sikap kemandirian hakim dari campur tangan pihak manapun dalam menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini mengandung makna bahwa hakim, apapun latarbelakangnya, ketika mengadili sengketa harus melepaskan diri dari pandangan subjektif. Nalar hukum yang tertuang dalam butir pertimbangan harus mengejawantahkan nilai-nilai dan tujuan hukum, yakni keadilan.
Pada lain sisi, kemandirian hakim dalam negara hukum menjadi norma yang wajib dihormati oleh siapapun dan afiliasi manapun. Mengingkari terhadap imparsialitas peradilan berarti mengingkari konstitusi. Oleh karena itu, ketika gejala mobokrasi merebak, masyarakat wajib tahu bahwa mencampuri urusan peradilan mengandung implikasi hukum yang harus dihindari. Dalam Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan jelas ditentukan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PENGALAMAN KEPENULISAN
- Aktif menulis di berbagai media nasional maupun lokal, seperti Harian Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Majalah Gatra, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Koran Jakarta, Republika, Koran Kontan, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Suara Karya, Radar Surabaya, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pontianak Post, Bangka Post, Tribun Kaltim, Kaltim Post, Balikpapan Pos, Lampung Post, Jurnal Millah, Jurnal La Riba, Jurnal Al Mawarid, Mimbar Hukum, Varia Peradilan, Majalah Komisi Yudisial dan lain-lain.
BUKU KARYA
- Buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2012)
- Anasir Kejahatan Peradilan (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2013)
- Korupsi dan Pengauatan Daulat Hukum (UII Press, Yogyakarta, 2015)