Hakim Perempuan dan Ayat Misoginis
Oleh Achmad Fauzi
Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam
Artikel ini pernah dimuat di detik.com tanggal 21 April 2020
Serahkan kekuasaan kepada perempuan, niscaya mengubah dunia. Demikian Rosemary Mahoney, penulis nonfiksi Amerika Serikat terkemuka dalam sebuah kolomnya. Ungkapan tersebut memiliki dimensi pembaruan bahwa setiap profesi saat ini tak lagi didasarkan pada pembedaan jenis kelamin. Termasuk profesi hakim yang notabene banyak didominasi kaum laki-laki.
Peran perempuan semakin meluas ke segala bidang, termasuk ke sumber-sumber ekonomi, hukum, dan politik. Perempuan bukan lagi makhluk domestik yang bekerja di sekitar wilayah dapur, sumur, dan kasur. Tapi merangsek pada sektor penting pemerintahan, hukum, dan dunia global.
Merujuk pada negara yang dipimpin perempuan, di Brasil ada Dilma Roussef yang menggantikan Luiz Inacio Lula da Silva, Laura Chinchilla menjabat Presiden Kosta Rika, Cristina Fernandez de Kirchner sebagai pemimpin Argentina, serta Helle Thorning sebagai penguasa di Denmark. Di Indonesia, gerakan emansipasi kaum perempuan tak kalah mentereng dengan negara luar. Di bidang politik negara kita juga pernah dipimpin oleh seorang perempuan.
Seiring perkembangan peradaban, profesi di bidang hukum juga mulai banyak digeluti kaum perempuan. Sebut saja profesi hakim. Kultur maskulinitas dalam dunia peradilan mulai diwarnai kaum hawa yang secara kemampuan tak kalah mumpuni atau bahkan melebihi derajat keilmuan kaum laki-laki.
Dari sekian srikandi palu keadilan yang mengabdikan diri sebagai wakil Tuhan sebut saja Albertina Ho yang kini menjadi anggota Dewan Pengawas KPK. Ia menjadi ikon hakim perempuan karena ketegasannya dalam memimpin sidang dan ketajaman nuraninya dalam mempertimbangkan keadilan.
Dalam sejarah kariernya, Albertina pernah menyidangkan kasus pencurian yang pelakunya seorang nenek ringkih berusia senja. Publik pasti tak tega melihat seorang nenek telah uzur harus duduk di kursi pesakitan. Tapi bagi seorang hakim rasa kemanusiaan tak boleh melumpuhkan sifat tegasnya. Di sinilah kehebatan Albertina karena berhasil mengawinkan aspek ketegasan sebagai hakim dan sisi kemanusiaan. Ia berhasil mendobrak konsep hukum pidana yang selama ini semata-mata diperlakukan sebagai mesin pembunuh.
Dinyatakan dalam putusannya nenek renta tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencurian. Jika seorang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana, maka hakim harus menyatakan bersalah. Hal ini bertujuan agar memberikan pembelajaran hukum kepada masyarakat bahwa setiap perbuatan yang mengandung unsur pidana memiliki konsekuensi hukum yang ditanggungnya. Namun dalam amar berikutnya, ia menghukum terdakwa dengan hukuman pidana percobaan alias langsung bisa pulang ke rumah.
Masih Rendah
Berdasarkan data International Labour Organization jumlah hakim perempuan di Indonesia masih tergolong rendah. Di Pengadilan Negeri, hakim perempuan hanya sekitar 16,2 persen. Sedangkan di Mahkamah Agung persentasenya lebih kecil lagi yakni 15,6 persen. Hal ini disebabkan kultur patriarki di Indonesia masih sangat kuat.
Semua jabatan penting dipersepsikan hanya cocok dipegang oleh kaum laki-laki. Padahal dari segi kemampuan, daya sensitivitas dan kualifikasi lainnya, perempuan tak kalah saing.
Salah satu penyebab kuatnya kultur patriarki karena pemahaman ayat misoginis. Teks yang digunakan ahli fikih sebagai dasar eksplisit ketinggian laki-laki satu tingkat di atas perempuan adalah Al-Quran Surat An-Nisa': 34, yang menyatakan bahwa laki-laki sebagai qowwaam (pemimpin) atas perempuan.
Hierarki dan superioritas atas image perempuan ini mendapat pembenaran normatif dalam soal-soal fikih, yang lebih menguntungkan kaum laki-laki ketimbang perempuan, seperti masalah perkawinan antaragama, poligami, waris, persaksian, imamah, hingga persoalan yang bersifat pribadi yakni penguasaan laki-laki atas reproduksi dan seksualitas perempuan.
Pada persoalan perkawinan antaragama, pria muslim boleh mengawini perempuan non-muslim, sedangkan perempuan muslim tidak boleh menikah dengan pria non-muslim (Q.S. 5: 5). Pada masalah poligami, laki-laki muslim boleh mengawini empat orang wanita sekaligus, tetapi wanita muslim hanya diberi jatah kawin dengan seorang lak-laki (Q.S. 4: 3).
Dalam pewarisan, wanita menerima separoh dari bagian pria ketika keduanya berada pada tingkatan yang sama dalam hubungan keluarga dengan orang yang meninggal (Q.S. 4: 11 dan 176). Dalam persaksian di peradilan, wanita hanya dihargai setengah dari pria (Q.S 2: 282). Sedangkan dominasi laki-laki atas reproduksi dan seksualitas wanita dapat ditilik dalam hadis Nabi yang artinya, "Seandainya suaminya meminta dirinya, sementara ia masih berada di atas punggung onta, maka tidak boleh menolak suaminya atas dirinya."
Penafsiran kitab suci yang merugikan martabat perempuan kini menjadi persepsi global yang membawa dampak negatif bagi praktik penindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan sepanjang waktu. Pandangan Al-Quran tentang perempuan seluruhnya telah tereduksi dalam pandangan-pandangan picik sebagai suatu determinasi Ilahi yang tidak memungkinkan menggugatnya berdasarkan epistemologi pengetahuan modern.
Tak heran banyak masalah perempuan dalam kitab fikih yang ditempatkan pada posisi instrumental daripada substansial. Ketidakhadiran suara perempuan dalam budaya di mana fikih itu dirumuskan diartikan sebagai ketiadaan substansi perempuan dalam Islam (Aminah Wadud, 1994).
Karena itu, teks-teks suci itu yang kerap menempatkan perempuan dalam kebiri wilayah domestik harus didobrak. Sudah selayaknya teks-teks bercorak misoginis diinterpretasi ulang sesuai kebutuhan zaman agar perempuan yang menjadi hakim tak lagi dianggap tabu. Tidak setiap penghargaan dan dinamika di bidang hukum selalu dikaitkan dengan laki-laki dan tidak pula semua pekerjaan yang membosankan harus dibebankan kepada perempuan.